Thursday, June 28, 2007

High Tension (2003)


Saya selalu memulai dengan ekspektasi yang tinggi tiap kali menonton film-film Prancis. Ada beberapa alasan untuk itu, yang pertama adalah Audrey Tautou *tersipu*, yah walaupun aktingnya kelihatan agak timpang dibanding oppositenya di Da Vinci Code, Tom Hanks tapi tetap semuanya termaafkan dengan segala pesonanya (she is definitely a goddess on earth). Alasan kedua adalah film-film Prancis belum pernah membuat saya menyesal menonton, sebut saja beberapa film Prancis yang popular seperti A la Folie... Pas Du Tout, Anthony Zimmer, Amelie, Monsieur Ibrahim, Le Grand Voyage atau bahkan Yamakasi. Film-film Prancis bagi saya umumnya mempunyai alur cerita yang sederhana tapi suprising, witty, dan unpredictable. Saya bukan orang film, tetapi sentuhan art secara graphic, camera angle, sampai wardrobe para karakter di film-film Prancis sangat terasa. Selalu terkesan manis dan spesial.

Setelah menonton film arahan sutradara Alexandre Aja ini (versi aslinya Haute Tension), hal pertama yang saya komentari adalah seperti film Prancis lainnya, High Tension mempunyai alur cerita yang sederhana dan sekilas mudah ditebak. Dua remaja putri berniat untuk libur di rumah salah satu orang tua dari mereka dan malam itu juga keluarga itu didatangi seorang pembunuh sadis misterius yang tanpa alasan membantai seluruh keluarga. Bisa ditebak, dua tokoh utama kita juga tertangkap dan berusaha melepaskan diri. Tapi tidak sesederhana itu saudara-saudara, yang membuat film ini jadi tidak biasa adalah justru di karakter si tokoh utama. Saya tidak merasa harus menceritakan secara detail bagaimana karakternya karena justru ini yang membuat film ini harus ditonton. Secara pribadi saya tidak menyukai karakter tokoh utama tersebut tetapi inilah yang membuat saya terkecoh dengan menganggap sudah bisa menebak bagaimana akhir dari cerita film ini. Ketika saya mengatakan karakter, saya tidak menjelaskan tentang appearance dari tokoh utama tetapi lebih kepada sesuatu yang membuat tokoh utama ini begitu powerful dan akhirnya menjadi inti sekaligus jawaban atas semua terror yang terjadi pada malam itu. Dari tampilan luar, saudara sudah bisa menebak sejak awal tokoh utama kita, cewek berambut seperti cowok, memakai kaos dan jeans, gesture tubuh yang lebih seperti cowok, ditambah lagi aktifitas dewasa yang dilakukannya di dalam film ini jelas membuat penonton sudah mengetahui seperti apa karakter tokoh utama ini. Tokoh utama yang lain juga sangat biasa, cewek yang lebih feminin yang hidupnya tidak jauh dengan masalah cowok. Sebenarnya saya heran, ada gak ya di kehidupan nyata, cewek yang sangat tidak cewek ini bersahabat karib dengan cewek lain yang sangat bertolak belakang? Tapi seperti sudah saya katakan di awal, justru inilah yang membuat penonton akan tertipu. Memang ini bukan film pertama yang mengangkat tema tersebut, tetapi seperti film horror thriller yang lain, penonton biasanya terpaku pada bagaimana nanti tokoh antagonis akan berakhir dan kebanyakan film melewati path yang sama walaupun dengan cara yang berbeda. Tidak dengan film ini, bahkan penonton mungkin secara emosional akan empathy terhadap tokoh jahat di film ini. Saya tidak bermaksud membenarkan apa yang dilakukan tokoh utama, tetapi ada hal-hal tertentu yang membuat seseorang terpaksa melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Karena ini adalah sebuah film horror thriller maka kesan berlebihan tentu saja akan ditampakkan.

Bagi penggemar horror yang menyukai darah, di film ini saudara akan menemukannya. Tapi jujur, tidak dalam porsi yang seharusnya, darah dan pembunuhan di film ini terasa sangat dilebih-lebihkan. Maksud saya adalah, penonton tidak harus dijelaskan lebih jauh bagaimana keadaan para korban dan apa saja bagian tubuhnya yang tidak utuh. Tidak harus ditampakkan lagi dan lagi. Bagi saya hal ini malah mengurangi sisi gelap dan suram dari sebuah film horror. Contohnya adalah ketika Marie, tokoh utama, menghampiri seorang korban yang sudah bersimbah darah yang tidak ketulungan banyaknya, penonton tiba-tiba dikagetkan dengan bagian tubuh korban yang sudah tidak utuh yang justru di scene sebelumnya tidak diperlihatkan kapan dan bagaimana bagian tubuh itu bisa tidak ditempatnya lagi. Padahal scene sebelumnya bagi saya sangat bagus dan bagaimana tokoh utama terpojok ketakutan adalah hal yang luar biasa untuk membuat saya memeluk bantal dengan erat :). Inkonsistensi dalam penggambaran tokoh utama juga banyak terjadi di dalam film ini, seperti hal yang tidak bisa dilakukan oleh Marie di adegan yang lain tetapi bisa dilakukannya di tempat yang lain, mungkin ini terkait dengan rahasia atau surprise dari film ini, tetapi dalam satu kondisi dan malam yang sama, bagaimana seseorang bisa mempunyai kemampuan yang berbeda. Yang jelas, setelah menonton film ini akan banyak pertanyaan kenapa begini kenapa begitu, walaupun film ini menjelaskan di menit-menit akhir, tetapi pertanyaan itu tetap akan ada disana. Pergolakan tokoh utama melawan si tokoh jahat juga berakhir sangat cepat dan terburu-buru, padahal film ini berpusat dari hubungan tokoh utama dan tokoh jahat yang sangat tidak mudah dan saling berkaitan erat, tetapi sayangnya berakhir dengan sangat tidak meninggalkan kesan yang dalam.
Salah satu hal yang menyenangkan di dalam menonton film horror adalah ketika kita serasa ikut di dalam film itu dan seolah-olah tokoh utama mendengar apa yang kita teriakkan, “Jangan kesana!”, “Bego bgt seeeeehhhh, jangan keluar!!” atau kalimat yang lain. Beberapa adegan di film ini memang menjual adegan kucing-kucingan untuk membuat penonton merasa tidak nyaman untuk tetap bersandar. Walaupun berhasil tetapi tidak ada sesuatu hal baru tentang itu yang ditawarkan di dalam film ini. Malah film ini terkesan tidak percaya diri, maksud saya adalah film apa yang terbayang oleh saudara ketika melihat pembunuh sadis secara brutal mengejar korbannya dengan gergaji mesin? Ya, film itu, Texas Chainsaw Massacre dengan segala bentuk versinya. Gergaji mesin sudah menjadi trade mark film itu selama bertahun-tahun dan sangat membekas di ingatan para penggemar film horror. Ketika film High Tension ini memakai alat yang serupa dan cara yang hampir sama dengan TCM membuat film ini menjadi sangat lemah. Meski dari awal film, setiap adegan dan alur cerita tidak begitu istimewa tetapi bukan hal yang mengecewakan, dikarenakan adegan gergaji mesin ini film ini hampir mengecewakan.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, ending film ini adalah the best part dari semuanya. Tragis karena umumnya penonton tidak menyukai ending yang menggantung dan lebih memilih dendam yang terbalas atau singkatnya happy ending, tetapi alih-alih mendapatkan hal tersebut, korban kehilangan segalanya. Saya tidak begitu mengerti kenapa kesan kesepian dan kesedihan di film ini begitu terasa, mungkin karena hubungan emosional antara tokoh utama yang sangat misterius atau mungkin juga pengaruh nilai-nilai kultural kita yang belum bisa menerima sebuah hubungan yang diharapkan tokoh utama film ini membuat penonton seolah-olah memahami apa yang telah diperbuat tokoh utama, terlepas dari begitu sadisnya adegan-adegan pembunuhannya. Setting film ini juga merupakan faktor pendukung yang paling dominan dalam terciptanya athmosphere horror yang suram dan menegangkan. Satu lagi, saya menyukai kalimat terakhir yang diucapkan tokoh utama film ini.

Walau saya tidak terlalu menyukai film ini, tetapi secara keseluruhan film ini tidak mengecewakan. Tetap manis dan cukup menghibur. Bisa ditonton dengan pacar tetapi tidak dengan anak-anak :)

Saturday, June 23, 2007

Turistas (2006)



Setelah menulis postingan pertama, saya berpikir film apa yang akan saya bicarakan untuk pertama kali di postingan berikutnya. Tetapi saya tidak bisa menentukan judul film itu karena saya hampir menyukai semua film horor yang saya tonton (walaupun beberapa ada yang mengecewakan). Akhirnya, saya memutuskan untuk memulai dengan film horor terakhir yang saya tonton.


Film itu adalah Turistas. Disutradai oleh John Stockwell produksi Fox Atomic tahun 2006. Saya sebenarnya sudah melihat film ini di rental sejak dua bulan yang lalu, tetapi saya abaikan, karena kebiasaan buruk saya adalah terkadang lebih tertarik kepada tampilan cover film daripada harus mencari informasi film terlebih dahulu. Dan membaca summary plot di bagian belakang yang sangat tidak menarik yaitu tentang turis yang terjebak di belantara hutan Brazil setelah mengalami kecelakaan akhirnya film itu saya kembalikan ke tempatnya. Sampai kemarin ketika saya membaca review Hostel: Part II di salah satu situs yang kebanyakan memberikan komentar dan penilaian yang tidak memuaskan terhadap film ini. Bahkan salah satu komentar membandingkan Hostel: Part II dengan Turistas. Saya setengah tidak percaya karena saya adalah penggemar berat Hostel dan sangat menunggu sequel dari film karya Eli Roth itu. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan Turistas. Saya pun mencari review tentang film Turistas ini dan menemukan komentar yang bertolak belakang dari Hostel: Part II. Daripada semakin penasaran akhirnya saya segera meminjam film Turistas ini dan satu film horor yang lain, Devil’s Reject-nya Rob Zombie.


Setelah menonton film berdurasi 90 menit ini, saya akhirnya harus setuju dengan review yang saya baca. Dalam beberapa hal, Turistas lebih dapat memuaskan penggemar film horor dibandingkan dengan Hostel. Tetapi, perbandingan kedua film ini saya rasa tidak begitu adil, karena kedua film ini melakukan pendekatan yang berbeda terhadap horor. Hostel lebih kepada eksplorasi dan penekanan psikologis penonton dengan bumbu gore yang rapi, sedangkan Turistas lebih memusatkan pada ketegangan yang dibangun antara tokoh protagonist dan antagonisnya. Dan disitulah kelebihan Turistas menurut saya. Tidak sepanjang film memang ketegangan itu dibangun tapi sudah dimulai sejak menit pertama film. Ketegangan semakin meningkat sejak tengah kedua bagian film.


Turistas adalah film yang menjual keindahan alam Brazil. Pantai dengan pasirnya yang putih, air terjun dan gua bawah air yang menakjubkan. Keindahan ini tidak dirasakan lagi setelah keenam tokoh utama kita mengalami masalah dengan barang mereka yang dicuri oleh beberapa penduduk lokal dan secara perlahan memasuki hutan Brazil yang lebat dan akhirnya terjebak di dalam suatu rumah yang disana terbuka semua ketakutan yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Ketakutan yang diciptakan oleh seorang dokter yang sebenarnya bermaksud “baik” kepada penduduk lokal untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dengan mendapatkan beberapa organ manusia. Tidak seperti Hostel yang menggambarkan bahwa manusia bisa menjadi sangat tidak manusiawi dengan aktivitas penyiksaan yang intens, Turistas memilih untuk tidak mengeksplor hal yang sama terus menerus, tetapi lebih menyebar hal itu di beberapa scene dengan durasi yang sangat singkat tetapi cukup menyayat dan bisa membuat beberapa penonton mual atau menekan tombol fast forward. Jadi bagi penggemar horor yang mengharapkan gore dan darah seperti The Hill Have Eyes akan menemukan kekecewaan dalam film ini. Tetapi setidaknya ini menjadi contoh bahwa untuk membuat penonton terkesan dengan rasa takur yang dibangun tidak harus dengan banyaknya darah dan pembantaian yang berlebihan. Hal lain yang membantu film ini lebih kelihatan logis adalah akting aktor dan karakter yang dikembangkan di dalam film ini. Tidak seperti film horor yang lain, penonton dapat menebak siapa yang akan bertahan di akhir cerita, film ini memberikan proporsi yang sama pada tiap tokohnya. Walaupun ada satu tokoh yang mempunyai karakter lebih menonjol, hal ini lebih kepada pemanis cerita, bukan pengklasifikasian tokoh. Ditambah dengan script yang ditulis dengan baik dan akrab, akting yang natural dan penduduk lokal yang mendukung membuat film ini kelihatan sangat nyata.


Tapi di sisi lain, sepertinya Turistas tidak bisa melepaskan diri dari “pakem” film horor yang lain, salah satunya adalah kelemahan tokoh utama yang mengakibatkan mereka terjebak dalam situasi yang membahayakan hidup mereka. Mungkin memang hal seperti ini yang diharapkan sutradara untuk memudahkan cerita, tetapi penggemar film horor akan merasa cape deh dengan jebakan-jebakan seperti ini. Seperti saat tokoh utama kita berada di rumah “operasi” tersebut dan kedatangan dokter jahat tapi baik ini, di depan mata mereka sudah melihat banyak hal yang tidak wajar bahkan sudah diperingatkan untuk pergi oleh satu penduduk lokal bahwa suatu keadaan mengerikan akan terjadi pada mereka. Tetapi bukan malah melarikan diri, mereka justru dengan muka heran tetap di tempat sampai akhirnya dibereskam oleh pembantu-pembantu dokter tersebut dan disandera seperti anjing. Satu hal lagi kelemahan film ini adalah ending yang disederhanakan dan sangat basi. Setelah seluruh ketegangan yang hampir sempurna, penonton mengharapkan klimaks yang memuaskan. Beberapa penonton mungkin mengharapkan bahwa sang penjahat akan mati, tetapi tentu tidak dengan cara yang begitu mudah seperti di dalam film ini. Mungkin ending Hostel, menurut saya, adalah yang cukup baik. Dengan segala penyiksaan yang dialami Paxton yang membuat penonton “kelelahan” sepanjang film, cara mengakhiri hidup si tokoh jahat sangat memuaskan penonton. Turistas tidak mempunyai ending yang baik untuk sebuah film dibandingkan film lain di genre yang sama.


Scene yang cukup diperhitungkan untuk film seperti Turistas ini adalah ketika sang dokter jahat tapi baik ini mengalami kekecewaan terhadap salah satu pembantunya dan harus mengakhiri hidup pembantu tersebut dengan menusuk matanya. Aksi menusuk mata ini tentunya tidak orisinil tetapi dengan cara dan kemampuan akting tokoh dokter ini, bagian ini adalah yang paling mengena menurut saya. Juga benang merah dari awal sampai akhir cerita sangat membuat film ini, bagi penggemar horor, layak untuk ditonton. Bahkan untuk non horror fans sekalipun.


Ps: ini film dewasa, soalnya lot of boobs to come :)

Sunday, June 17, 2007

Mau Nonton Horor

"heh, mau minjem film apa?"
"pokoknya yang bikin tegang deh."
"maksud lo film gitu?"
"bah, jgn macem2 deh, itu mah tegang beneran."
"jadi film apaan?"
"film yang berbau horor gitu deh."
"film horor itu yg kayak apa? kok bisa bikin tegang sih? emang ada gituannya?"
"wah memang anak ini ya. Gimana ya jelasinnya, bentar!" *browsing kamus online*
".................."
"Nah ini dia, menurut Merriam-Webster, horror itu adalah painful and intense fear, dread, or dismay, bisa juga intense aversion or repugnance."
"Apaan artinya?"
"busyet, standard toefl aja setengahnya gak sampai, eng, tapi ya mungkin horor itu suatu keadaan yang dipenuhi rasa takut. Jadi film horor adalah film yang mengeksplor rasa takut dari penontonnya."
"nah rasa takut itu apa?"
"nanya aja terus! *browsing lagi"
"....." *minum teh botol*
"nih baca ya..

1. feeling of anxiety: an unpleasant feeling of anxiety or apprehension caused by the presence or anticipation of dangershowed no signs of fear
2. frightening thought: an idea, thought, or other entity that causes feelings of fearirrational fears
3. reverence: respect or awe for somebody or somethingthe fear of God
4. worry: a concern about something that threatens to bring bad news or results ( often used in the plural ) fears for their safe return


nih sekarang menurut Encarta ya."
"lagi-lagi bahasa inggris."
"yo piye meneh, tapi setidaknya nih ya, rasa takut adalah suatu perasaan tidak nyaman akan keadaan pada saat itu, biasanya disebabkan dari sesuatu yang datangnya dari luar diri kita."
"gitu ya"
"kadang rasa takut itu juga tidak irasional."
"hah?"
"rasa takutnya sendiri sih rasional, tetapi yg membuat takut terkadang gak rasional. apa yg membuat sampeyan takut?"
"hm, sesuatu yg membuat saya tidak nyaman ya? tugas kuliah?"
"itu males kale!"
"hm..apa ya, saat saya sendiri di tempat yg gelap."
"itu dia, sebenarnya apa yg ditakuti di tempat yg gelap?"
"hantu?"
"seperti apa?"
"kuntilanak?"
"tau dari mana?"
"film."
"di situ tuh gak rasionalnya."
"maksudnya?"
"pikir aja sendiri! trus rasa takut juga bisa datang dari sesuatu yg membahayakan diri kita."
"kayak maling?"
"iya kayak gitu, kan banyak pikiran tuh jadinya, gimana kalau malingnya bawa pisau, gimana kalo dibunuh, gimana kalo dijarah habis, gimana2 yg lain."
"oke deh."
"yoi, dah lah. Ayo minjem film. Jgn lupa beli kacang gorengnya."
"Yoh"